Friday, June 17, 2016

Daftar Daerah Terkorup Versi ICW

Lembaga Indonesia Corupption Watch (ICW) melalui penelitiannya menemukan bahwa Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur menjadi daerah dengan kasus tindak pidana korupsi terbanyak di Indonesia selama semester pertama 2015.

"Kami melakukan pemantauan terhadap penanganan korupsi di daerah, Sumatera Utara dan NTT paling banyak mencapai 24 kasus," kata peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di Jakarta, Sabtu (17/10).

Sumatera Utara menjadi provinsi yang mengalami kerugian negara paling banyak akibat kasus tindak pidana korupsi tersebut, mencapai Rp 120,6 miliar dengan nilai suap sebesar Rp 500 juta.

Kasus korupsi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur masing-masing ada 19 kasus.

"Selanjutnya, Sumatera Selatan 16 kasus, Sumatera Barat dan Lampung 14 kasus, Papua 13 kasus, dan Riau 12 kasus," ungkapnya.

Pada penelitian yang diadakan tersebut, ICW juga menyimpulkan bahwa wilayah Indonesia Timur menjadi area baru bagi kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. "Hal ini terlihat dari NTT dan Papua yang masuk dalam 10 lokasi tindak pidana korupsi terbesar selama semester pertama 2015," tukas Wana.

Sebelumnya, ICW juga memaparkan bahwa kinerja penyidikan kasus tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum pada semester pertama 2015 mengalami penurunan.
"Sampai awal tahun ini hanya mampu menaikkan 50,6 persen dari total 2.447 kasus korupsi dari penyidikan ke penuntutan," imbuh Wana.

Kasus korupsi yang telah masuk tahap penyidikan pada periode 2010-2015 tersebut apabila dinominalkan mencapai Rp 29,3 triliun, tukasnya, menambahkan.

Sumber : antara

Thursday, June 9, 2016

Desktop

LPSE
KawalDKI BeritaGOOGLE Spotify InfoPROYEK BCA CibHKBP
LPSENAS Depkes Sosial Kompas Google AHU vhutajulu ymail SOM Translate
Hub PU KKP Detik Yahoo Smart CS vicjulu Lapor Map google
TangKab diknas BKKBN BeritaDKI Youtube radio batak vah512 Sabda Hub LAUT
depok deptani BMKG Metro TV Facebook RPK fm vhutajulu gmail Undolistrik JAKSA
BogorKAB menpera BATAM Tempo Gmail TV online victorjulu EnterKOMPUTER BANDARA
DKI mendagri BPS brt harian MAPGoolge Blogger vhutajulu yahoo WEB ku PDF EXCL
TangKOTA BPPT ESDM Merdeka Slideshare speedtest.net adma cibubur ngopari PDFEXCL2
TangSEL BPS MENKUMHAM Antara google doc mp3skull mito TV ngoisoc PDFEXCL3
BekasiKOTA agama DESA Liputan 6 seaching PDF W3chool Pelita hidup TopanAD OCR
BekasiKAB depkeu MENTRANS Pengadaan Indowebster RenungSABDA Alkitab KPK PDFEXCL4
Bogor nakertrans LIPI Keepvid google image Yabina manna Sorgawi ICW SmallPDF

 

Trik melihat LELANG dan pelaksanaan Proyek Nakal


MASUK RKS
1. Pengalaman PM 10 th
bukan Tahun kalender berjalan melainkan Tahun kalender Kontrak ( tertulis dikontrak yg dilampirkan sebagai PM, lalu jumlahkan 6 bulan+ kontrak lainnya)

2.RKS bilang tenaga ahli tetap
cek di lpjk seharusnya nama itu ada sebagai PM, dengan tahun pengalamannya

OBSERVASI DOKUMEN
3. Struktur Organisasi lapangan sama dengan Tenga ahli di Dok Penawaran
kecuali ada SURAT PERNYATAAN pergantian tenaga ahli yg ttdd dirut dan PPK
(99% beda)

4. PM di Jalan
Periksa kontrak lalu apakah jabatan PMnya sama?

PEMENANG LPJK
5.Pemenang harus ada 4 th sebelumnya ada kontrak dengan sub bidang yang sama, lihat di  lpjk kontrak sebelumnya.

6. sepertiga nilai kontrak sebelumnya di lpjk
syarat naik grade adalah 1/3 kontak harus di daftarkan di lpjk

7. Kontrak dipenawaran adalah harus 3 th terakhir ya, jangan lebih

Tentang Standar Harga PEMDA dan KEMENTREIAN


A. Tentang STANDAR BIAYA KEMENTERIAN dan LEMBAGA
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 6 point 2 b pengelolaan keuangan negara dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
2. PP 90 TAHUN 2010 Pasal 4 (2) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang dikuasainya. Pasal 5 (3) Penyusunan RKA-K/L  menggunakan instrumen: standar biaya
3. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/2013 Standar biaya dapat mengacu pada dua sumber yaitu yang dibuat oleh Menteri Keuangan(Pasal 5) dan yang dibuat oleh Menteri bersangkutan (Pasal 8) Standar Biaya dari Menteri Keuangan dituangkan dalam 53/PMK.02/2014 sedangkan standar biaya dari menteri bersangkutan dapat dilihat di kementerian yang bersangkutan.
B. Tentang STANDAR BIAYA DAERAH
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 6 point 2 c. pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 17 TAHUN 2007 pasal 7 (3)Perencanaan kebutuhan dan pemeliharaan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berpedoman pada standarisasi sarana dan prasarana kerja pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan standar harga yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.
CUPILAKAN PERATURAN-PERATURAN  DIATAS:
1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Pasal 4
(1) RKA-K/L disusun untuk setiap Bagian Anggaran.
(2) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang dikuasainya.
Definisi RKA-K/L diterangkan diawal yaitu Pasal 1 point 8. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-K/L, adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga.
Pasal 5
(3) Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:
a. indikator Kinerja;
b. standar biaya; dan
c. evaluasi Kinerja.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/2013 tentang Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, Dan Indeksasi
Pasal 4
Standar Biaya Masukan terdiri atas:
a. harga satuan;
b. tarif; dan
c. indeks.
Pasal 5
(1) Standar Biaya Masukan berlaku untuk:
a. beberapa/seluruh kementerian negara/lembaga; atau
b. satu kementerian negara/lembaga tertentu.
Pasal 8
Dalam Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, dalam rangka penyusunan RKA-K/L, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
dapat menggunakan satuan biaya masukan lainnya yang antara lain didasarkan pada satuan harga yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/instansi teknis yang berwenang;
4. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/PMK.02/2014
TENTANG STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2015
Pasal 1
Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 adalah satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang ditetapkan untuk menghasilkan biaya komponen keluaran dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2015.
Pasal 2
Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 berfungsi sebagai:
a. batas tertinggi; atau
b. estimasi.
Pasal 3
(1) Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 yang berfungsi sebagai batas tertinggi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 yang berfungsi sebagai estimasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Penerapan Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2015 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pedoman standar biaya, standar stuktur biaya, dan indeksasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
5. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 17 TAHUN 2007
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Pasal 7
(1)Perencanaan kebutuhan barang milik daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan barang milik daerah yang ada.
(2)Perencanaan kebutuhan pemeliharaan barang milik daerah disusun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dengan memperhatikan data barang yang ada dalam pemakaian.



(3)Perencanaan kebutuhan dan pemeliharaan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berpedoman pada standarisasi sarana dan prasarana kerja pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan standar harga yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.

Pola Penyimpangan dalam tender di LPSE

Pada umumnya pelaksanaan  pengadaan barang  dan jasa  dapat dikelompokan Berdasarkan tahap kegiatannya. Tahap kegiatan pengadaan barang danjasa dapat der dikelompokkan dalam 4 (empat) tahap: 
1.Tahap persiapan.
2.Tahap  Proses  pengadaan.
3.Tahap penyusunan kontrak.
4.Tahap pelaksanaan kontrak.
Sedangkan pola penyimpangan yang terjadi  pada masing-masing tahap pengadaan barang  dan jasa, dapat diidentifikasi sebagai berikut:


1. Pola penyimpangan yang terjadi pada  tahap persiapan,

Adalah:penggelembungan  (mark up) biaya  pada rencana  pengadaan, terutama dari segi  biaya. Gejala ini  dapat terdeteksi dari unit-price yang tidak realistis  dan pembengkakan jumlah APBN/APBD. Rencana  pengadaan diarahkan untuk kepentingan   produk   atau   penyedia barang dan jasa  tertentu. Spesifikasi teknis dan kriterianya mengarah  pada  suatu produk dan penyedia barang  dan jasa  tertentu (yang  tidak mungkin  dilakukan oleh  penyedia barang  dan jasa yang lain).
b.Perencanaan yang tidak realistis, terutama dari sudut waktu pelaksanaan.Waktu pelaksanaan ditentukan  menjadi  sangat  singkat  sehingga  perusahaan tertentu yang mampu  melaksanakan  perkerjaan tersebut,  karena  mereka telah mempersiapkan  diri lebih  awal.  Hal  tersebut  dapat terjadi  dengan  cara  menyuap  panitia  agar  informasi tender dan pekerjaan dapat mereka peroleh  lebih awal dari pada peserta lain.
c.Panitia bekerja secara tertutup, tidak jujur, dan Nampak dikendalikan oleh pihak tertentu.
d. Gambaran Harga Perkiraan Sendiri (HPS) ditutup-tutupi padahal seharusnya tidak bersifat rahasia.
e. Harga dasar tidak standar.
 f.Spesifikasi teknis mengarah pada produk tertentu.
g.Dokumen lelang tidak standar.
h.Dokumen lelang yang tidak  lengkap.

2. Pola penyimpangan yang terjadi pada tahap proses, adalah :

(a)  jangka waktu pengumuman singkat. 
(b) pengumuman  tidak lengkap dan  membingungkan (ambigious)
(c) penyebaran  dokumen tender  yang cacat
(d) pembatasan  informasi  oleh panitia  agar  hanya kelompok tertentu  saja yang memperoleh  informasi lengkap
(e) aanwijzing dirubah  menjadi tanya  jawab
(f)  upaya  menghalangi  pemasukan dokumen  penawaran  oleh oknum  tertentu agar  peserta  tertentu  terlambat  menyampaikan   dokumen  penawarannya
(g)  penggantian dokumen dilakukan  dengan cara  menyisipkan  revisi dokumen  di dalam  dokumen  awal
(h) panitia  bekerja secara  tertutup,
(I)  pengumuman pemenang  tender  hanya kepada  kelompok tertentu,  
(J)   tidak   seluruh   sanggahan   ditanggapi
(K)   surat   penetapan   sengaja   ditunda pengeluarannya, tujuannya agar mendapatkan  uang pelicin.

3. Pola penyimpangan yang  terjadi pada tahap penyusunan

adalah penandatanganan  kontrak yang tidak  dilengkapi dengan dokumen pendukung atau   dokumen   fiktif   dan   penandatangan   kontrak   yang   ditunda-tunda,   karena   jaminan pelaksanaan yang belum ada.

4. Pola penyimpangan yang terjadi pada tahap pelaksanaan kontrak

Adalah barang  yang diserahkan  tidak sesuai  dengan spesifikasi yang   ditentukan   dalam   kontrak   dan  penandatangan   berita   acara   serah   terima   padahal pekerjaan belum selesai, biasanya  hal ini dilakukan pada akhir tahun anggaran.
Bertolak dari pola penyimpangan di atas, maka dapat diindentifikasi pola
korupsi dalam pengadaan  barang dan jasa  adalah
(a) penyalahgunaan  wewenang,
(b)suap yang dilakukan oleh  penyedia barang  dan jasa
(c) kolusi,  baik yang dilakukan  antar pejabat, atau antara pejabat dengan penyedia barang  dan jasa, atau antar penyedia barang dan jasa.

Selain  pola penyimpangan  di atas  Antasari  Azhar mengidentifikasi  beberapa 

modus operandi korupsi pengadaan barang dan jasa,  yaitu :

1.Pengusaha menggunakan pengaruh           pejabat pusat untuk “membujuk” kepala daerah/pejabat daerah mengintervensi  proses  pengadaan  dalam  rangka  memenangkan  pengusaha/rekanan tertentu dan meninggikan harga atau nilai kontrak dan pengusaha/rekanan dimaksud  memberikan sejumlah  uang kepada pejabat  pusat maupun daerah;

2. Pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah  untuk mengintervensi proses pengadaan agar  rekanan tertentu dimenangkan  dalam tender atau  ditunjuk langsung  dan harga barang/jasa dinaikkan (mark-up), kemudian selisihnya dibagibagikan;

3.Panitia  pengadaan  membuat spesifikasi barang  yang mengarah ke  merek atau produk tertentu  dalam  rangka  memenangkan  rekanan  tertentu  dan melakukan  mark-up  harga atau nilai kontrak;

4. Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai   dengan   peruntukannya   kemudian  mempertanggungjawabkan   pengeluaran-pengeluaran   dimaksud   dengan   menggunakan  bukti-bukti yang tidak  benar atau fiktif;

5.Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah  untuk kepentingan pribadi  koleganya,  atau  untuk  kepentingan  pribadi  kepala daerah/peiabat    daerah    yang    bersangkutan    atau    kelompok    tertentu,    kemudian mempertanggungjawabkan   pengeluaran-pengeluaran   dimaksud   dengan   menggunakan bukti-bukti fiktif;

6. Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek;

7. Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan;

Marwan Effendy,SH menyatakan bahwa modus dan indikasi terjadinya penyimpangan dalam penggunaan anggaran  di sektor  pengadaan barang/jasa  yang mengarah kepada TIPIKOR. Antara lain :
1.Pembentukan Panitia Lelang;
2.Prakualifikasi Perusahaan;
3.Mekanisme Penunjukan langsung;
 4.Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS);
5.Indikasi Mark-Up dan Kecurangan dalam Proses Tender;
6.Turut Serta Dalam Pemborongan

Lebih lanjut Marwan menyatakan bahwa Perbuatan yang  berindikasi korupsi tersebut  baru  dapat diketahui  setelah  dilakukan  penyerahan barang  atau  pekerjaan karena diketemukan:

a. Barang  yang diterima dari  penyedia barang/jasa, kualitasnya  rendah, sehingga barang  cepat rusak  dan perbaikannya memiliki  kendala karena  ketiadaan suku cadang  maupun  tenaga teknis;

b.Pekerjaan pembangunan gedung  kantor tidak sesuai dengan rencana anggaran  bangunan atau bestek yang telah diperjanjikan didalam perjanjian  pemborongan

Modus korupsi dalam pengadaan Barang/jasa secara elektronik Persekongkolan Dalam Tender Tender yang berpotensi menciptakan  persaingan usaha tidak sehat  atau menghambat persaingan  usaha  adalah Tender  dengan  persyaratan  dan spesifikasi  teknis  atau  merek yang  mengarah  kepada pelaku  usaha tertentu  sehingga menghambat   pelaku  usaha  lain untuk ikut.

Indikasi  persekongkolan  ini Nampak pada  saat prakualifikasi perusahaan  atau pra lelang, antara lain meliputi  :

a. Persyaratan untuk mengikuti prakualififasi membatasi dan/atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu.

b.Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat,  dan/atau waktu  penyerahan barang  dan jasa yang  akan ditender  atau dilelangkan.

c.Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman  tender/lelang.

Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender/lelang  maupun pada saat  penyusunan dokumen  tender/lelang, antara  lain meliputi adanya  persyaratan  tender/lelang  yang  mengarah  kepada  pelaku  usaha  tertentu  terkait dengan sertifikasi barang, mutu,  kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi Apabila  diperhatikan  berbagai pengumuman   lelang  elektronik  saat  ini nampak bahwa banyak sekali persyaratan  yang sangat diskriminatif. 

Misalnya peserta lelang harus memenuhi sebuah  persyaratan yang  dikeluarkan oleh  instansi di daerah tersebut, Hal  ini tentu saja mengakibatkan peserta  dari daerah lain tidak bisa mengikuti pelelangan. Modus yang dipakai  adalah  membuat persyaratan  sebanyak-banyaknya  sehingga  peserta lelang tidak sempat  lagi memenuhi  dalam waktu  yang singkat.  Dalam lelang  elektronik, waktu pengumuman hanya 4 (empat)  hari. Biasanya  sebelum pengumuman  lelang, pihak  yang akan   dijadikan   sebagai   pemenang   sudah   diinformasikan   terlebih    dahulu   tentang persyaratan  yang harus  dipenuhi bahkan  persyaratan lelang  biasanya dipesan  oleh calon pemenang yang sudah ditunjuk  oleh mereka yang berkepentingan.

Spesifikasi mengarah kepada merek tertentu

Spesifikasi yang  dibuat adalah  pesanan pihak  tertentu yang  dibuat sangat  detail. Misalnya  pupuk NPK  harus  memiliki kandungan  tertentu  yang  sulit didapat  di  daerah tersebut. Biasanya pihak yang  akan dimenangkan sudah menyiapkan jenis pupuk tersebut. Dalam  sebuah  pengumuman  lelang  bahkan dipersyaratkan   bahwa  peserta  lelang  harus mempunyai   gudang   penyimpanan   pupuk,   seolah-olah    bahwa    jika   peserta    tidak mempunyai  gudang  maka tidak  akan  mampu  melaksanakan  tugasnya, padahal  mereka terikat dengan kontrak dan pakta integritas  yang harus ditaati.


Tender arisan

Dalam setiap daerah  terdapat apa yang dinamakan  asosiasi. Ada yang  menyebut namanya  sebagai  Kadin,  Ardin, Ardin Indonesia.  Asosiasi-asosiasi inilah  yang  banyak berperan mengatur pemenang    lelang.    Mereka  ini yang selalu  berusaha    untuk mengamankan berbagai proyek.  Mereka biasanya meminta asosiasi dari  daerah lain untuk tidak mengikuti tender  di daerahnya sebaliknya  mereka tidak akan mengganggu tender di daerah lain.  Asosiasi ini  biasanya berbagi peran  siapa yang  bagian kontruksi, pengadaan barang dan  jasa konsultansi.  Tidak  mengherankan pemenang  tender dalam  suatu daerah selalu sama setiap  tahun walaupun dilakukan secara elektronik.   Mereka biasanya berbagi jatah  pada   setiap   paket   yang   diikuti.   Pada  umumnya   seorang   kontraktor   biasanya memiliki  lebih  dari  1  (satu)  perusahaan  dengan  direktur  adalah  staf  dari  perusahaan tersebut.  Perusahaan-perusahaan  itu yang  akan  menang secara  bergiliran  dalam sebuah instansi.   Trend   ini   akan   nampak   jika   kita   perhatikan   perusahaan-perusahaan   yang mendaftar  lelang  saat  ini.  Walaupun  perusahaan  yang  mendaftar  lebih  dari  50  (lima puluh)  namun  yang  memasukan  penawaran  hanya  sekitar  3  (tiga)  perusahaan  untuk memenuhi standar jumlah perusahaan  yang menawar agar tidak terjadi lelang gagal. Para   peserta   tender   biasanya   melakukan   kesepakatan   diluar   proses   tender sehingga  membuat  proses  tender  seolah-olah  bersih.  Ini  sangat  sulit  terdeteksi  dalam melakukan audit karena  terjadi di luar sistem.  Mereka sering mengadakan  kesepakatan di luar.   Proses   kesepakatan   antara   peserta   lelang   sulit   terdeteksi   karena   harga   yang ditawarkan  oleh pemenang  tender ternyata  memiliki  harga yang  wajar dan  bahkan  bisa menawarkan  harga relatif  paling  murah.  Secara administrasi,   semua  proses pelelangan sudah memenuhi peraturan. Inilah yang  sering disebut dengan tender arisan.

Memanipulsai LPSE

AUDIT ATAS PELAKSANAAN LELANG SECARA ELEKTRONIK DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Arumsari, Totok P., Iswahyudi, Mucharor dan Akib P. *
Pengantar
Optimisme terhadap penerapan e-procurement akan mampu menghemat anggaran dan mencegah korupsi
Harapan untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut diemban oleh 2 (dua) unit kerja yang menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP). LPSE adalah unit kerja yang bertugas untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan ULP adalah unit organisasi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Salah satu bentuk pengadaan secara elektronik adalah lelang secara elekronik (e-lelang), yang sejak diluncurkan pada tahun 2008 telah berkembang dengan pesat hingga pada bulan Juni 2014 tercatat sebanyak 311.500 paket lelang dengan nilai pagu melebihi Rp 609 triliun telah dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga /Pemerintah Daerah (Smart Report LPSE-LKPP).
Namun di sisi lain, kasus korupsi pengadaan barang dan jasa nampaknya masih merupakan kasus korupsi yang banyak ditangani aparat penegak hukum antara lain KPK. Hingga bulan Juli 2014, mayoritas jenis perkara yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah penyuapan (175 kasus) dan pengadaan barang/jasa (123) kasus. Statistik ini menunjukkan bahwa pemberlakuan e-lelang ternyata belum sepenuhnya mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Menyikapi kondisi tersebut di atas, auditor perlu melakukan serangkaian prosedur audit untuk mengidentifikasi kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan e-tender yang mungkin menjadi penyebab masih maraknya kasus korupsi meskipun pengadaan barang dan jasa pemerintah telah dilakukan secara elektronik.
Pedoman audit terhadap pelaksanaan e-tender sebenarnya sudah disediakan oleh LKPP dalam bentuk Petunjuk Pengoperasian Aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Namun pedoman tersebut hanya menjelaskan bagaimana cara auditor dapat mengambil data/informasi secara online tanpa harus meminta kepada ULP/Pokja ULP, untuk kemudian dianalisis secara konvensional (di luar aplikasi SPSE). Untuk itu diperlukan prosedur audit tambahan untuk menguji validitas pelaksanaan e-lelang.
Prosedur Audit Tambahan Terhadap Pelaksanaan E-Lelang
1.  Pengujian terhadap prosedur persetujuan lelang.
Pada tahapan persiapan lelang, ULP/Pokja ULP memperolehuser iddari admin LPSE untuk bisa mengakses sistem e-lelang. Seluruh anggota ULP/Pokja ULP bisa mengunggah maupun mengunduh informasi ke/dari aplikasi e-lelang. Namun untuk memberikan persetujuan pelaksanaan lelang, hanya bisa dilakukan oleh user idKetua ULP/Pokja ULP. Dalam kenyataannya terdapat beberapa paket lelang yang persetujuan dilakukan oleh user id selain ketua Pokja ULP, sebagaimana terungkap dalamsummary report paket lelang yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan indikasi adanya perubahan data yang dilakukan tidak melalui aplikasi SPSE.
Untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut, auditor perlu membandingkan informasi summary report terkait user id yang memberikan persetujuan lelang dengan jabatan user id tersebut dalam daftar panitia lelang. Selanjutnya auditor perlu meminta kepada pemilik user id tersebut untukmencapture data log aksesnya agar dapat dibandingkan dengan tanggal dan waktu persetujuan lelang dilakukan.
2.  Pengujian terhadap validitas time-framepenggunaan user id.
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemilik user idpenyedia barang/jasa akan terekam dalam log aksesmasing-masing user. Seharusnya setiap kali user id melakukan aktivitas dalam aplikasi SPSE, maka user id tersebut sedang dalam kondisi log inke dalam aplikasi.Namun dalam beberapa kasus ditemukan kondisi ketidaksesuaian waktu pendaftaran, history aanwijzing dan waktu dokumen penawaran diterima oleh server dengan data log-access dari peserta lelang yang bersangkutan, yang mengindikasikan adanya aktivitas perubahan data yang dilakukan tidak melalui aplikasi.
Untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut, auditor perlu menganalisis data waktu aktivitas user idpenyedia pada saat melakukan pendaftaran lelang, mengikuti aanwijzing, file penawarannya diterima oleh server, maupun saat melakukan sanggahan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan log akses user id yang bersangkutan, yang dapat diperoleh dengan meng-klik icon yang tersedia di sebelah nama perusahaan peserta lelang.

3.  Pengujian terhadap acces control oleh ULP/Pokja ULP
Belum semua anggota ULP/Pokja ULP memahami teknis penggunaan aplikasi SPSE, meskipun sudah mendapatkan pelatihan mengenai hal tersebut.  Kondisi ini menyebabkan ada sebagian ULP/Pokja ULP yang menyerahkan teknis operasi aplikasi kepada pihak lain di luar keanggotaan ULP. Hal ini menyebabkan acces control terhadap data/informasi lelang menjadi lemah, dan memungkinkan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.
Untuk mendeteksi hal tersebut, auditor perlu memperoleh data aktivitas user idmasing-masing anggota ULP/Pokja ULP melalui summary report, serta datalog akses-nya. Selanjutnya berdasarkan data tersebut dilakukan klarifikasi kepada pemilik user iduntuk memastikan bahwa yang bersangkutan benar-benar melakukan aktivitas tersebut.
4.  Pengujian terhadap kemungkinan kolusi antara ULP/Pokja ULP dengan penyedia
Sebelum mengunggah dokumen penawaran, peserta lelang terlebih dahulu melakukan enkripsi file dengan menggunakan aplikasi pengamanan dokumen (Apendo) yang disediakan oleh LPSE. Untuk membuka file penawaran tersebut, hanya bisa dilakukan dengan menggunakan password Apendo yang telah diubah oleh peserta yang bersangkutan atau dengan menggunakan password panitia. Dengan demikian peserta lelang tidak dapat membuka file penawaran dari peserta lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kolusi antar peserta lelang sehingga terjadi persaingan yang sehat.
Namun ketika terjadi kolusi antara ULP/Pokja ULP dengan salah satu peserta lelang, oknum tersebut dapat melihat penawaran dari peserta lelang lain dan menginformasikannya ke peserta lelang tertentu. Selanjutnya peserta tersebut mengubah data penawarannya untuk dapat memenangkan lelang. File perubahan tersebut selanjutnya diberikan kepada ULP/Pokja ULP tanpa melalui aplikasi. Dengan demikian file yang dievaluasi oleh ULP/Pokja ULP bukanlah file yang diunggah oleh peserta melalui server LPSE.
Hasil evaluasi oleh panitia yang diunggah ke aplikasi SPSE tersebut tidak bisa diverifikasi kebenarannya oleh peserta lain karena dokumen penawaran hanya bisa dibuka oleh peserta yang bersangkutan atau oleh ULP/Pokja ULP.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, auditor perlu melakukan uji nilai hash yang merepresentasikan sidik jari dari masing-masing file. Auditor mengambil file yang masih terenkripsi dari komputer ULP/Pokja ULP (dengan ekstensi file .rhs) dan menganalisis nilai hash MD5-nya (misalnya dengan menggunakan aplikasi md5summer) dan membandingkan hasilnya dengan nilai hash yang tercantum dalam aplikasi SPSE. Bila terdapat perbedaan nilai hash maka bisa dipastikan bahwa file yang diunggah oleh peserta berbeda dengan file yang dievaluasi oleh panitia.
5.  Pengujian terhadap kemungkinan kerjasama antar peserta lelang
Sumber akses oleh peserta lelang ke dalam aplikasi SPSE ditunjukkan dengan IP address yang dapat diperoleh pada data log akses masing-masing user id peserta lelang. IP address adalah identifikasinumeric pada alamat dasar dari sebuah komputer ketika berada pada bagian jaringan komputer.
Kerjasama yang tidak sehat antar peserta lelang diindikasikan dari kesamaan IP address yang digunakan oleh lebih dari satu perusahaaan penyedia barang/jasa pada saat melakukan pendaftaran lelang, aanwijzing, unggah dokumen penawaran, maupun saat menyampaikan sanggahan. KesamaanIP addrees menunjukkan bahwa satu orang/satu pihak yang sama menggunakan lebih dari 1 user iduntuk mengikuti 1 paket lelang.
Untuk mendeteksi hal tersebut, auditor perlu menganalisis hubungan IP address-IP address dari datalog akses, yang digunakan olehsetiap peserta lelang pada tahapan pendaftaran sampai dengan sanggahan.  

6.  Pengujian terhadap kemungkinan pengaturan availability aplikasi SPSE
Banyak keluhan yang disampaikan penyedia barang/jasa mengenai sulitnya mengunggah file penawaran ke dalam aplikasi SPSE. Hal tersebut selain disebabkan oleh keterbatasan kapasitas jaringan internet yang dimiliki LPSE, tidak tertutup kemungkinan adanya kesengajaan dari pihak tertentu untuk membatasi pemasukan file penawaran, setelah penawaran dari rekanan tertentu diterima oleh server LPSE.
Untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan audit dengan pendekatan forensik komputer agar seluruh aktivitas server LPSE pada periode pelaksanaan lelang dapat diketahui. Dengan demikian bila ada kesengajaan untuk mengatur availabilityaplikasi SPSE untuk menguntungkan rekanan tertentu, hal tersebut dapat diketahui.
Penutup
Pemanfaatan e-lelang dalam pengadaan barang/jasa oleh pemerintah memberikan harapan baru bagi terciptanya pengadaan barang/jasa yang transparan dan akuntabel. Selain meningkatkan efisiensi dengan penghematan biaya penggandaan dokumen, biaya transportasi peserta lelang, dan biaya-biaya lain,      e-lelang juga lebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan lelang. Namun demikian e-lelang belum mampu menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa, terutama karena faktor manusia yang memang berniat tidak baik dalam pengadaan barang dan jasa.
Auditor memiliki peranan untuk mendorong perbaikan dalam pelaksanaan e-lelang agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas auditor agar terus dapat mengembangkan prosedur dan teknik audit untuk mendeteksi permasalahan dan kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan e-lelang.
*Para Penulis adalah Forensic Computer Examiner Laboratorium Forensik Komputer Deputi Bidang Investigasi, BPKP

Standar harga di Kemtreian dan Pemda

Regulasi tentang konstruksi

Kajian UU NOMOR 18 TAHUN 1999 tentang Jasa Konstuksi



Jenis usaha jasa konstruksi ada 3 komponen yaitu :
1. Perencana, 2. Pelaksana dan 3. Pengawas        Pasal 4
1. Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi,   usaha  pelaksanaan  konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana  konstruksi, pelaksana konstruksi, dan  pengawas konstruksi.
Pelaku Usaha Jasa Konstruksi harus memiliki sertifikat. Pasal 8
Perencana   konstruksi,   pelaksana  konstruksi,   dan   pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus  
 a. memenuhi  ketentuan  tentang perizinan usaha  di  bidang  jasa konstruksi;  
 b. memiliki  sertifikat, klasifikasi, dan  kualifikasi  perusahaan jasa konstruksi.
Pasal  9
1. Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian.  
2. Pelaksana konstruksi  orang  perseorangan  harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.  
3. Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana  konstruksi  atau pengawas konstruksi  atau  tenaga tertentu   dalam  badan  usaha  pelaksana  konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian.  
Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
Yang boleh ikut tender atau lelang adalah yang memiliki sertifikat    Pasal  17
5. Pemilihan  penyedia  jasa hanya boleh diikuti  oleh  penyedia jasa  yang  memenuhi persyaratan sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 8 dan Pasal 9.  
Badan Usaha yang sama pengurusnya tidak boleh mengikuti lelang yang sama  
Pasal  17
6. Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh  mengikuti pelelangan untuk satu  pekerjaan  konstruksi secara bersamaan.  
Syarat syarat Lelang harus lengkap,jelas ,benar dan dapat dipahami  Pasal 18
1. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:  
  1. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami;
Catatan: Arti lain pasal diatas adalah semua ketentuan lelang yang digunakan untuk mengugurkan peserta lelang harus ada tertuang dalam RKS ( Rencana Kerja san Syarat-syarat)
Hasil lelang harus ada dan tertulis Pasal 18
1. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:  
b. menetapkan  penyedia  jasa secara tertulis  sebagai  hasil pelaksanaan pemilihan.  
Catatan: Bila Ada di LPSE dimana lelang dinyatakan selesai tetapi tidak dicantumkan siapa pemenang, hal seperti ini melanggar pasal diatas
Dokumen lelang harus sama dengan Kontak Kerja  Pasal 18
3. Dokumen  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2)  bersifat mengikat  bagi kedua pihak dan salah satu pihak  tidak  dapat mengubah  dokumen  tersebut  secara  sepihak  sampai   dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi.  
Jika Pengguna Jasa mengubah penetapan tertulis dan jika  penyedia jasa mundur  maka dikenakan sanksi Pasal 19
Jika pengguna  jasa mengubah  atau  membatalkan  penetapan tertulis,   atau   penyedia  jasa   mengundurkan  diri setelah diterbitkannya  penetapan  tertulis  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti  menimbulkan kerugian  bagi  salah satu pihak, maka pihak yang  mengubah  atau membatalkan  penetapan,  atau mengundurkan diri  wajib  dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum.  
Adendum pekerjaan atau CCO dilarang! Penambahan Pekerjaan harus dilelang Pasal 20
Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia  jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi  dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui  pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas.  
Penjelasan Pasal 20 Yang dimaksud dengan "perusahaan terafiliasi" adalah perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki oleh satu perusahaan induk. Pemberian pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi dengan pengguna jasa tersebut dapat dibenarkan apabila pemilihannya didasarkan pada proses pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Tenaga ahli,Jaminan Sosial dan Lingkungan harus dicantumkan di kontrak Pasal 22
(2) Kontrak kerja  konstruksi sekurang-kurangnya  harus  mencakup uraian mengenai:  
d. tenaga ahli,  yang  memuat  ketentuan  tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;  
l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan  keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;  
m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.  
Kegagalan Bangunan selama 10 tahun tanggung jawab 2 pihak ,ditetapkan oleh pihak ke3  Pasal 25
1. Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab  atas kegagalan bangunan.  
2. Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia  jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan  akhir  pekerjaan konstruksi dan  paling  lama  10 (sepuluh) tahun.  
3. Kegagalan bangunan  sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.  
Perencana atau pengawas juga  kena sangsi Pasal 26
Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan  karena kesalahan   perencana  atau  pengawas  konstruksi,  dan   hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain,  maka perencana  atau pengawas konstruksi wajib  bertanggung  jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi.
Masyarakat berperan dalam pengawasan proyek Konstruksi  Pasal 29
 Masyarakat berhak untuk:  
 a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan  jasa konstruksi;  
Pasal  30
Masyarakat berkewajiban:  a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Penjelasan Pasal 29 Hak masyarakat dalam melakukan pengawasan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pekerjaan, maupun pemanfaatan hasil-hasilnya. Penggantian yang layak diberikan kepada yang dirugikan sepanjang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pekerjaan konstruksi didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Kewajiban dimaksud mengandung makna bahwa setiap orang turut berperan serta dalam menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang jasa konstruksi.
Bagian Ketiga Gugatan Masyarakat   Pasal 38
1. Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara:  a. orang perseorangan; b. kelompok orang dengan pemberian kuasa; c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.  
2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat, Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.  
Pasal 39
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
Catatan: Apabila masyarakat mendapatkan kerugian atau kecelakaan akibat jasa konstruksi dapat menggugat selama 10 tahun (Pasal25)  terhitung sejak akhir proyek.
Sanksi     Pasal 43
(1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
(2)  Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.
(3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.