Thursday, August 20, 2020

Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama.

Pada suatu ketika, di awal decade 70-an, dunia dicekam ketegangan. Perang menjalar di Timur Tengah. Negara Negara Arab menyerang Israel dan terjadilah krisis minyak Presiden Soeharto, waktu itu, memandang bahwa batu bara layak menjadi sumber energi alternatif. Ia pun menginstruksikan para menteri untuk mengembangkan batu bara. Pada 1980, pemerintah RI mengundang kalangan investor dunia untuk pengembangan potensi batu bara di Kalimantan dan Sumatra. Para investor asing itulah yang kemudian menjadi kontraktor pengembangan batu bara di bawah naungan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama.
PKP2B generasi pertama diteken antara kurun 1981 hingga 1990. Tercatat, ada 11 perusahaan pertambangan yang dibentuk untuk menjalankan kontrak itu. Volume produksi batu bara dari para kontraktor PKP2B generasi pertama itu amat besar. Hingga saat ini, pemerintah sudah meneken 376 kontrak pertambangan batu bara. Ada 141 kontrak PKP2B dari generasi I hingga VII. Volume produksi kontraktor PKP2B generasi pertama tercatat menyumbang 75% dari seluruh total produksi
Para pemain pertama itu memang mendapat banyak keuntungan. Semua kontraktor PKP2B generasi pertama, misalnya mendapat ketentuan system perpajakan yang telah tetap. Jadi sepanjang masa kontraknya, perusahaan tidak terkena aturan pajak baru. Jika ada pajak baru yang tidak tercatat dalam kontrak, maka pemerintah akan me-reimburse nilai yang sama pada kontraktor.
Pada tahun 2005, Mentri Keuangan merilis peraturan No 95 tentang pungutan ekspor batu bara ; untuk meningkatkan pasokan batu bara ke pasar domestik. Nyatanya, beleid itu tidak efektif. Para kontraktor PKP2B generasi I tidak terkena aturan baru itu. Padahal 75% produksi batu bara berada di tangan mereka. Alhasil, pungutan ekspor yang didapat sangat minim.
Pada tahun 1983, lahir UU tentang pajak pertambahan nilai (PPN). Karena PPN lahir setelah sejumlah PKP2B diberlakukan, maka PPN juga tidak masuk dalam kewajiban kontraktor PKP2B generasi pertama. Kalau PPN itu dibayar oleh perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti. Enak nian, memang.
Belakangan, mekanisme pengembalian itu tersendat. Dari situlah, konflik antara konraktor PKP2B generasi pertama dengan Lapangan Banteng Berkobar.
Saat ini, perusahaan perusahaan PKP2B generasi pertama sudah tidak lagi merupakan perusahaan asing. Sesuai kontrak PKP2B itu pula, asing-asing tadi memang harus menjual sahamnya ke perusahaan domestic dalam kurun tertentu setelah kontrak berjalan. Di saat harga batu bara mahal seperti saat ini, kontrak PKP2B generasi pertama itu sekarang telah berhasil menjadikan para pemilik barunya masuk dalam daftar orang-orang terkaya di negeri ini. Mungkin ini yang membuat mereka terlihat begitu pede ketika harus berhadapan dengan para pejabat Departemen Keuangan

Kesebelasan Pertama Itu
1. PT KALTIM PRIMA COAL (KPC)
Awalnya, KPC merupakan perusahaan patungan milik Rio Tinto Australia (50%) dan British Petroleum (50%) dari Inggris. KPC adalah operator batu bara terbesar di Indonesia. Kegiatan produksi secara komersial di KPC dimulai pada tahun 1991. setelah itu KPC sanggup memproduksi batu bara secara stabil di level stabil 15 juta metric ton per tahun. Kini, KPC berada di bawah kepemilikan PT Bumi Resources, unit usaha kelompok Bakrie. Pada tahun 2007 silam produksi KPC mencapai 50 juta metric ton. Sumber informasi pemegang saham Kaltim Prima Coal (84.938 hektar) sama seperti Arutmin Indonesia, berasal dari Laporan Tahunan Bumi Resources dan Ditjen Minerba. Saham Kaltim Prima Coal 51% dipegang Bumi Resources, 30% Bhira Investment Limited, India dan sisanya 19% dipegang China Investment Corporation (CIC). Sedangkan pemegang saham Bumi Resources sendiri adalah seperti disebutkan pada butir kedua di atas.

2. PT ARUTMIN INDONESIA
Sejak awal kelompok Bakrie terlibat di Arutmin. Perusahaan ini tadinya merupakan hasil; kongsi antara Bakrie (20%) dengan BHP Minerals Australia (80%). Arutmin mengoperasikan dua tambang terbuka di Kalimantan Selantan. Arutmin bisa memproduksi 19 juta metric ton batu bara setiap tahun. Kini, Arutmin juga sepenuhnya berada di bawah naungan PT Bumi resource. Pemegang saham Arutmin Indonesia (57.107 hektar) diperoleh dari publikasi Laporan Tahunan Bumi Resources 2018 dan presentasi Ditjen Minerba Februari 2020. Saham Arutmin 70% dikuasai Bumi Resources dan 30% dipegang Bhira Investment Limited, India. Sedangkan pemegang saham Bumi Resources antara lain adalah: HSBC, Inggris (22,67%), The NT TST Co. S/A Pathfinder Stratgic Credit LP (3,98%), Damar Reka Energi (3,5%), UBS AG, Swiss (2,65%), Credit Suisse, Swiss (2,49%), Credit Suisse Singapore (2,31%), Raiffeisen Bank Singapore (1,93%), Citibank London (1,23%), Credit Suisse USA (1,23%), dll, serta Pemegang Saham Publik (64,7%).
3. PT ADARO INDONESIA
Perusahaan ini sekarang dimiliki PT Adaro Energy. Awalnya, Adaro dimiliki oleh New Hope Corporation Australia (50%), PT Asminco Bara Utama Indonesia (40%), dan Mission Energy Amerika (10%). Adaro memiliki sumber daya batu bara sekitar 2,803 milliar ton-separuhnya merupakan cadangan. Saat ini, produksi tahunan Adaro sekitar 40 juta ton- nyaris setara dengan 20 % produksi nasional yang, sepanjang tahun 2007, mencapai 205 juta ton.Adaro pernah dilaporkan melakukan transfer pricing pajak. Selain itu, Adaro punya kasus sengketa saham dengan Beckett Pte. Ltd. gara-gara kredit yang diberikan Deutsche Bank sebesar US$ 100 juta kepada Asminco. Pemilik Asminco adalah PT Swabara Mining energy. Beckett adalah pemilik utama Swabara. Asmingo mengalami gagal bayar dan Deutsche Bank mengeksekusi jaminan utang asminco di Adaro dan IBT kepada pemilik Adaro sekarang, seharga US$ 46 juta. Syahdan, penjualan itu dilakukan secara diam-diam dan harganya kemurahan.Pemegang saham Adaro Indonesia (31.380 hektar) adalah Adaro Strategic Investments (43,91%), Garibaldi Thohir (6,18%), Edwin Soeryadjaya (3,29%), Theodore P Rachmat (2,54%), Arini Saraswaty Subianto (0,25%) dan Publik (43,69%). Adaro Strategic Investment sendiri dimiliki 5 orang pengusaha yaitu Theodore P Rachmat (melalui Triputra Investindo Arya), Benny Subianto (Persada Capital Investama), Garibaldi Thohir (Trinugraha Thohir), serta Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Saratoga Capital).

4. PT BERAU COAL
PT Berau Coal saat ini berada di tangan kendali PT Armadaian Tritunggal (51%)- milik Rizal Risjad (anak Ibrahim Risjad). Selain itu, ada juga Rognar holding BV Belanda (39%), dan Sojitc Corp dari Jepang. Tadinya, Berau dimiliki oleh United Tractors (60%), PT Pandua Dian Pertiwi (20%), dan Nissho Iwai (20%).Berau memiliki tiga lokasi tambang di kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yaitu Lati, Binungan, dan Sambrata. Berau memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan pemerintah Indonesia atas konsesi sekitar 118 ribu hectare (ha) dengan lahan produksi 40 ribu ha. Tahun ini perusahaan menargetkan produksi 15 juta metric ton batu bara setelah tahun lalu mebukukan 12,5 juta ton. Pemegang saham atau pemilik Berau Coal (luas lahan 108.009 hektar!) adalah Grup Sinar Mas melalui Asia Coal Energy Ventures Limited (ACE). ACE menyatakan telah menjadi pengendali di Berau Coal secara tidak langsung karena memiliki 94,19% saham di Asia Resources Minerals Plc (ARM) yang semula menjadi pemilik Berau. ACE yang disokong dana oleh Grup Sinarmas itu menguasai 84,7% saham di Berau Coal melalui Vallar Investment UK Limited. ACE yang merupakan perusahaan terikat hukum Pulau Virgin, menyelesaikan akuisisi ARM pada 15 Juli 2015. Berau Coal yang sebelumnya perusahaan terbuka, pada 16 November 2017 resmi keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

5. PT KIDECO JAYA AGUNG
Saat ini, Kideco adalah andalan utama PT Indika Energy ( milik keluarga Sudwikatmono). Tadinya, seluruh saham Kideco dimiliki amtan Co. Ltd. Dari Korea Selatan. Di tahun 2008, Kideco menargetkan volume penjualan sebesar 22 juta metric ton dengan perkiraan harga rata-rata antara US$ 45-48 per ton. Tahun depan, Kideco berniat menggenjot produksi hingga 30 juta metric ton. Pemegang saham Kideco Jaya Agung (47.500 hektar) adalah Indika Energy (91%) dan Samtan Limited, Korea Selatan (9%). Indika Energy sendiri dimiliki oleh Arsjad Rasjid, Wishnu Wardhana, dan Agus Lasmono. Pemegang saham Indika Energy terdiri atas Indika Inti Investindo (37,79%), Teladan Resources (30,65%), dan Publik (31,56%). Pemilik mayoritas Indika Inti Investindo sebagai salah satu pemegang saham pengendali Indika Energy adalah Agus Lasmono yang merupakan pendiri Indika Group.
6. PT ALLIED INDO COAL (AIC)
Perusahaan ini merupakan hasil patungan antara keluarga Thohir dengan keluarga Salway. Tapi, kini, keluarga Thohir menguasai sepenuhnya perusahaan pertambangan yang beroperasi sejak 1987 di Sumatra Barat itu. AIC setiap tahunntya sanggup memproduksi sekitar 2 juta metric ton batu bara. Pada tahun 2005, Allied sempat membayar tunggakan restitusi senilai Rp 4,2 milliar atau 21% dari jumlah tunggakannya saat itu.
7. PT MULTI HARAPAN UTAMA (MHU)
New Hope tadinya memiliki 40% saham MHU. Lalu, ada Asminco Bara Utama (10%) dan kelompok Risjad (40%). Perusahaan ini berbasis di Busang, Kalimantan Timur, dengan cadangan potensial sekitar 126 juta metric ton. Setiap tahun, MHU memproduksi sekitar 1,6 juta metric ton batu bara. Kini, pemilik MHU meliputi pihak Australia (40%), PT Agrarizki Media (37,5%), Ibrahim Risjad (12,5%), dan PT Asmin Pembangunan Pratama (10%). Pemegang saham Multi Harapan Utama (MHU), lahan 39.972 hektar, Pakarti Putra Sang Fajar (60 %) Private Resources Ltd, Australia (40%). Sedangkan saham Pakarti dimiliki dua perusahaan lain, Bhaskara Alam dan Riznor Rezwara. MHU dihubungkan satu nama yaitu Reza Pribadi, di mana Reza tercatat sebagai komisaris di MHU dan di Pakarti. Di Riznor, Reza tertulis pemilik saham bersama Rizal Risjad. Pada MHU Reza menjabat direktur.
Posisi serupa sebagai direktur/komisaris juga dijabat Reza di Private Resources Pty Ltd, perusahaan yang berkantor di Perth, Australia. Reza adalah putra pengusaha Henry Pribadi (Liem Oen Hauw), pemilik konglomerasi Napan Group.

8. PT TANITO HARUM
Sejak awal, PT Tanito Harum adalah perusahaan local. Setiap tahun, perusahaan ini sanggup memproduksi sekitar sejuta metric ton batu bara. Pada 2005, PT Tanito Harum sudah melunasi tunggakan royaltinya senilai US$ 4,4 juta. Pemegang 100% saham Tanito Harum (luas lahan tambang versi Ditjen Minerba sekitar 1.869 hektar. Versi lain: 36.000 hektar) adalah Kiki Barki dan Anita Barki. Kontrak PKP2B Tanito harum berkahir 14 Januari 2019 dan telah diperpanjang dalam bentuk izin selama 20 tahun dari Kementrian ESDM pada Januari 2019.
9. PT BHP KENDILO COAL INDONESIA
PT BHP Kendilo Coal Indonesia didirikan sebagai perusahaan patungan antara BHP (80%) dan Mitsui (20%). Kendilo beroperasi di Petangis dan Rindu, di Kalimantan Timur. Kini, BHP Kendilo sudah tak lagi beroperasi. Tapi, tunggakan royalty dikabarkan cukup besar.
10. PT INDOMINCO MANDIRI
Awalnya, PT Indominco Mandiri sepenuhnya dimiliki Kelompok Salim. Indominco mampu memproduksi 1,5 juta metric ton batu bara setiap tahunnya. Kini 35% saham Indominco dimiliki Banpu Public Limited asal Thailand. Sebanyak 35% lagi dikuasai oleh PT Indo Tambangraya Megah Tbk
11. PT CHUNG HUA MINING DEVELOPMENT
Sejak awal, Chung Hua dinilai tak sanggup melaksanakan kontrak sehingga izin PKP2B nya diputus.

Selain perbaikan penerimaan negara, ada juga kewajiban peningkatan nilai tambah dalam negeri melalui industri pengolahan dan pemurnian yaitu harus melakukan hilirisasi.

Terkait pembangunan smelter merupakan beban dalam evaluasi yang dilakukan pemerintah. Pemerintah menyadari, mendorong investasi smelter tanpa investasi disektor hulu tidaklah menarik bagi investor. Karena itu, sejak 2009 pemerintah mulai menegakkan ketentuan ini kepada para kontraktor. Tanpa aktifitas pemurnian dan pengolahan dalam negeri, peningkatan nilai tambah industri hulu tidak akan berjalan.
Memperhatikan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 maka Keberadaan tambang dan usaha disektor sumber daya alam, harus memperhatikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

PT Tanito Harum yang kontraknya habis pada 14 Januari 2019,
PT Arutmin Indonesia yang kontraknya berakhir pada 1 November 2020,
PT Kendilo Coal Indonesia yang Perjanjiannya berlaku hingga 13 September 2021,
PT Kaltim Prima Coal yang masa berlakuhabis pada 31 Desember 2021,
PT Multi Harapan Utama yang pada 1 April 2022,
PT Adaro Indonesia, di mana masa kontraknya akan habis pada 1 Oktober 2022,
PT Kideco Jaya Agung yang kontraknya hanya sampai 13 Maret 2023,
PT Berau Coal yang masa kontraknya akan habis pada 26 April 2025

Tujuh perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) Generasi I disinyalir berada dibalik terbitnya revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Tujuh perusahaan itu adalah Tanito Harum (kontrak berakhir Januari/2019), PT Arutmin Indonesia (November/2020), Kaltim Prima Coal (Desember/2021), Multi Harapan Utama (Maret/2022), Adaro Indonesia (Oktober/2022), Kideco Jaya Agung (Maret/2022) dan Berau Coal (September/2025).

“Pemegang saham kontraktor PKP2B Generasi I tersebut adalah konglomerat-konglomerat kaya dan perusahaan asing. Para pemegang saham tersebut sebagian masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Sebagian dari mereka menjadi kaya dan terkaya karena menguasai kekayaan tambang batu bara milik negara yang menurut konstitusi seharusnya dikelola BUMN,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta pembatalan IUPK Tanito Harum pada 2019 karena melihat secara gamblang pelanggaran Menteri ESDM Ignatius Jonan terhadap UU Minerba 4/2009. Permintaan KPK tersebut telah dipenuhi Presiden Jokowi.Ternyata langkah konstitusional di atas tidak dilanjutkan pemerintah. Pemerintah bersama DPR malah merevisi UU Minerba 4/2009 secara konspiratif guna memenuhi hasrat anggota oligarki. Dengan UU Minerba baru yang disahkan 12 Mei 2020, para pengusaha tambang memperoleh jaminan perpanjangan operasi tambang.
Pemegang saham sejumlah perusahaan PKP2B di atas berasal dari China, India, Eropa dan Australia. Dengan penguasaan saham lebih dari 50%, berarti negara dan investor asinglah yang mendapat keuntungan terbesar dari revisi UU Minerba.
Total produksi ke tujuh kontraktor PKP2B diperkirakan sekitar 210 juta ton/tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar US$10 per ton, maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$ 2,1 miliar atau setara Rp 30 triliun.
Dengan keuntungan yang demikian besar, jelas mereka dan dapat berbuat banyak untuk memperoleh perpanjangan kontrak. Padahal, UU Minerba 4/2009 dan konstitusi telah mengatur bahwa aset milik negara, milik rakyat tersebut harus dikelola BUMN bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pembahasan revisi UU Minerba yang terkesan seperti dikejar waktu. Pada awalnya, revisi UU masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020 yang diusulkan DPR RI. RUU ini berstatus carry over dari DPR periode sebelumnya.Pembahasan revisi dimulai Komisi VII DPR RI bersama Menteri ESDM pada 13 Februari 2020. Ada 938 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah. Sebanyak 235 DIM disetujui sementara 703 DIM dibahas lewat panitia kerja. Panja RUU Minerba dibentuk, pembahasan lantas dimulai 17 Februari hingga 6 Mei 2020. Dengan demikian, 703 DIM tersebut dibahas kurang dari tiga bulan. Rapat pembahasan sinkronisasi RUU Minerba pada 6 Mei selama 4,5 jam berjalan tertutup. Rapat itu hanya diikuti 17 anggota DPR. Meskipun mendapat desakan, revisi akhirnya disahkan menjadi UU lewat rapat paripurna DPR RI, Selasa, 12 Mei 2020.
Pembahasan ini dianggap tidak transparan karena draf RUU atau DIM tidak dipublikasikan di laman resmi DPR RI. Sedemikian cepatnya pembahasan revisi UU ditengarai untuk mengejar tenggat konsesi sejumlah PKP2B yang segera berakhir. Salah satu pasal krusial dalam UU Minerba yang baru adalah pasal 169. Ketentuan ini menjamin perpanjangan kontrak karya (KK) serta PKP2B otomatis dua kali dengan durasi 10 tahun masing-masing tanpa pengurangan wilayah tambang. Ada tujuh perusahaan PKP2B yang paling diuntungkan. Perpanjangan izin bakal memberikan udara segar kepada tujuh perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan itu ditengarai sedang berupaya mendapatkan jaminan atas refinancing (pembiayaan kembali) utang-utang mereka. Perpanjangan izin kontrak pertambangan dapat dijadikan jaminan sehingga perusahaan dapat terus beroperasi.

"Sekitar USD 2,9 miliar obligasi dan utang bank perusahaan tambang Indonesia akan jatuh tempo pada 2022. Breakdown-nya adalah kurang lebih USD 800 juta pada 2020 dan USD 700 juta pada 2021. Kalau perusahaan tidak mempunyai refinancing plan, pengaruhnya terlihat pada credit rating mereka,, perpanjangan izin otomatis ini sebanyak dua kali dengan durasi sepuluh tahun masing-masing. Perpanjangan tersebut berbentuk izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tanpa diawali penetapan wilayah pencadangan negara dan pelelangan wilayah IUPK. Revisi UU Minerba yang baru akhirnya mengabaikan prioritas BUMN dan BUMD menguasai wilayah pertambangan dengan izin yang semestinya telah berakhir.


No comments:

Post a Comment